Jumat, 22 April 2011

Ungkapan:

Jodoh itu sudah di atur oleh allah,,,walau pun kamu berjuang sekuat ap pun,,
dan selalu berusaha,,,tapi dia bukan jodoh kamu,,,itu percuma jha,,,
dan kita gak tau siapa jodoh kita,,,semua yang ngatur allah,,,jalani jha hidup ini 
seperti air mengalir,,,jgan lah sekali.sekali kamu memberi kehormatan mu kepada orang lain,,,
walau pun kamu sanagat mencintai orang tersebut,,,,belum tentu dia jodoh kamu,,,
jagalah kehormatan mu seperti kamu menjaga agamamu,,,,,
cintailah seseorang sekedarnya saja,,
cintailah allah,,ibu dan ayah mu sepenuh hati...

Selasa, 12 April 2011

AKU AKAN MENUNGGU KESERIUSANMU

“Kia, sebenarnya aku sudah capek, kalo kita kayak gini terus, aku pengen kita berhenti ribut, musuhan dan bertengkar, kamu mau kan?”
“Heh, dengar ya Do, aku sebenarnya juga nggak pengen lagi ribut sama kamu, kamu kira aku juga nggak capek apa?”
“Iya ya, Kia, aku juga pengen bilang ke kamu sesuatu yang selama ini aku pendam, aku pengen ngomong serius sama kamu.”
“Ya udah, ngomong aja, apa?!!!”
“Kia sebenarnya, sejak pertama, sejak dulu sekali aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu........”

“Haa .....?!!!! He-he ....he-he....”
“Kamu jangan ketawa, aku serius, dari dulu aku pendam perasaanku ini ke kamu, dan sekarang aku udah capek, makanya aku bilang aja ke kamu semuanya, kalo dari pertama kita kenal aku suka dan sayang sama kamu, tapi ..tapi... sebagai teman.
Apa-apaan sih si Dado ini, aku benar-benar benci sama dia. Beberapa detik yang lalu baru aja dia bilang kalo dia suka dan sayang sama aku, tapi kenapa sekarang dipertegasnya dengan kata-kata sebagai teman, aku jadi nggak bisa mengartikan dengan jelas, apa yang ada di ahti dia sebenarnya. Tapi mata Dado merah, dia seperti mau nangis, aku juga nggak tau harus jawab apa? Sepatah katapun nggak ada keluar dari mulutku.

Akhirnya aku ninggalin dia, dengan perasaan yang binggung dan masih bimbang, rasanya aku ingin mengungkapkan isi hatiku juga, tapi kenapa justru aku cuma bisa diam? Aneh banget? Andai aja Dado tau kalo aku juga punya perasaan yang sama ke dia, tapi kenapa akhirnya dia malah ngomong sebagai teman ya? Apa mungkin karena tadi aku meresponnya dengan ketawa, aduuuuh ....gimana ini? aku salah, andai aja tadi nggak ngetawain dia ......


Hari-hari pun berlalu, aku dan Dado nggak pernah teguran lagi. Selama ini walopun kami sering berantem, tapi satu yang nggak pernah kami lakukan, yaitu saling diam. Nah, sekarang udah hampir 2 minggu kami berdua nggak pernah ngomong lagi. Entah siapa yang mulai duluan. Yang jelas, aku dan Dado sampe sekarang nggak ada yang mengalah.

Siang ini, aku nggak menyangka melihat pemandangan yang membuat jantungku serasa mau copot. Di cafe itu saat jam istirahat aku melihat Dado lagi duduk berhadapan dengan seorang cewek. Dia bukan karyawan di tempat kami kerja. Aku baru pertama kali ini ngelihat dia. Dia cantik, dan kayaknya mereka lagi asik ngobrol sambil ketawa-ketawa. Aku merasa sakit banget, aku cemburu, patah hati, marah dan benci banget sama mereka. apalagi sama Dado, apa maksudnya kayak gini, baru dua minggu yang lalu dia bilang suka dan sayang sama aku, dan cepat banget dia langsung dekatin cewek lain.

Aku terus mencoba menghindari dari Dado, kadang entah Tuhan yang mungkin mengaturnya, aku dan dia selalu aja selisih jalan, sampe-sampe kadang kami malah tabrakan, dan akhirnya dengan spontan kami langsung menghindar. Aku sebenarnya udah capek banget kalo terus kayak gini terus. Entah kapan masalah ini bakal selesai. Sampai akhirnya, aku dengar berita yang membuat aku kaget. Dado sekarang jadian sama cewek yang waktu itu aku pernah aku liat di cafe. Awalnya aku nggak percaya dan mungkin hatiku nggak bisa terima. Cepat banget rasanya Dado membuang jauh perasaannya dulu buat aku. apa mungkin selama ini dia nggak tulus ke aku?

Beberapa bulan berlalu, aku masih merasa menyesal dengan kejadian yang dulu. aku masih sering merasa sakit kalo aku liat Dado dan pacarnya.

Tapi apa boleh buat, semua udah terjadi, penyesalan selalu pasti datangnya belakangan. Sekarang yang membuatku masih tetap mau satu kerja dengan Dado cuma masa depanku, aku harus mikirin masa depanku juga, aku nggak mau gara-gara cowok hidupku hancur. Walopun sebenarnya jauh di hati kecilku, aku emang udah hancur, sakit, perih dan segala macamnya aku rasakan. Tapi untuk menghibur diriku sendiri, aku juga berhasil membenci Dado sepenuh hatiku. Aku bisa menghilangkan penderitaanku dengan cara membencinya. Yang aku rasa semakin hari aku semakin benci Dado.

Suatu hari, waktu bangun pagi aku ngalamin sesuatu yang lain, dalam pikiranku terlintas wajah Dado. Tiba-tiba hatiku jadi lunak, perasaan benci, kesal, sakit, hilang perlahan-lahan. Rasanya pintu maaf buat Dado udah terbuka lebar, tapi aku nggak tau kenapa aku tiba-tiba jadi selembut ini. Aku yang biasanya keras hati dan keras kepala sekarang terasa lemah dan cengeng banget. Nggak kerasa air mataku jatuh begitu aja, aku menangis sejadi-jadinya, perasaan yang campur aduk bermain di hatiku. Aku mulai menerima Dado di hatiku, aku merasa aku harus memaafkan dia, aku harus ikhlaskan dia buat siapapun, karena yang terjadi selama ini sebenarnya aku nggak pernah rela dia bahagia dengan siapapun, makanya timbul rasa benci di hatiku sendiri yang seharusnya nggak boleh aku rasakan. Aku udah jahat dan berdosa. Maafkan aku Tuhan.

Di tempat kerja, entah kenapa Dado kayak mencoba lagi buat deketin aku. Apa dia merasakan hal yang sama denganku? Dia mulai menegurku, dan tentu aja aku nggak nyuekin dia lagi. Di wajah Dado kelihatan ada rasa heran dan kaget, waktu aku merespon dia. Dia mencoba tersenyum, dan aku pun membalas senyumannya dengan tulus. Bahagia banget rasanya bisa membuat orang senang. Dan emang bahagia juga rasanya bila nggak ada rasa benci dalam hati. Sekarang aku udah bisa ikhlas merelakan Dado dengan cewek itu, dia pasti sangat bahagia kan? Di dalam hati aku coba untuk meminta sama Dado, karena terus terang aku belum berani buat langsung ngomong sama dia. Waktu Dado lagi sendirian dan nggak tau lagi mikiran apa, diam-diam aku menatapnya, aku seolah-olah bertelepati dengan dia dan mengirimkan kata maaf ke telinganya. Aku berdoa, ya Tuhan dia dengarin aku.

Malamnya, waktu aku nunggu jemputanku pulang kerja. Rasanya jantungku mau copot waktu Dado datang tiba-tiba menghampiriku. Spontan mengambil dua tanganku.
“Kia, aku mau minta maaf. Kamu mau kan maafkan aku?”
“........ya.”

“Benar Kia? Kamu udah maafin aku? Sekarang berarti kita temanan lagi donk?”
“........ya, aku juga minta maaf Do.”

“Kia, aku senang banget, akhirnya kita bisa temanan lagi, kamu tau nggak? Udah dua bulan kita nggak teguran.Aku nggak percaya selama ini kamu tahan banget kayak gini, kamu benar-benar keras Kia.”

“Yee .... emang kamu apaan donk? Kalo nggak keras juga? Kamu juga tahan kan, kenapa baru sekarang kamu berani tegur aku lagi, coba?”

Akhirnya, beban yang selama ini aku tanggung terlepaskan juga. Emang waktu yang lumayan lama banget untuk punya musuh di dunia ini. Dua bulan, aku nggak pernah teguran sama Dado. Selama itu juga aku jadi cewek jahat, kasar yang sering nyakitin hati Dado. Nggak cuma Dado sih, teman-teman di sekitarku juga kena getahnya lantaran selama ini mereka juga memaksaku buat memaffkan Dado. Tapi toh, dua bulan itu aku keras banget, dan nggak ada yang bisa meruntuhkan aku kecuali perasaanku tadi pagi yang tiba-tiba aja muncul waktu aku bangun pagi. Emang aneh.

Yang masih bikin aku penasaran, gimana ya kabar Dado sama pacarnya? apa mereka masih pacaran, koq anehnya beberapa minggu terakhir ini Dado pun jarang banget jalan sama cewek itu lagi. Apa mereka udah putus? Aku pun nggak pernah dengarin gosip mereka. Dan tiba-tiba aku tertarik banget buat mengetahuinya.

“Cewek kamu mana Do, koq sekarang aku jarang banget liat kalian jalan bareng?”
“Oo.. Dwi? Kita udah putus. Udah sebulan ini nggak ada komunikasi.”

Jadi mana cewek itu Dwi, cewek yang dibilang teman-temanku mirip banget sama Dado. Dan sering banget digosipkan kalo mereka itu bakalan berjodoh karena wajahnya yang mirip. Waktu aku masih benci sama Dado, aku berpendapat, soal jodoh kan di tangan Tuhan, belum tentu mereka jodoh hanya karena wajahnya mirip. Tapi, aku penasaran kenapa sampe putus. Yang aku amati sih, hubungan mereka kayaknya baik-baik aja. Kayak membaca pikiranku, Dado langsung menjawabnya.

“Dwi bukan cewek yang nggak benar, Kia. Ternyata dia suka mainin perasaan cowok, selain itu dia juga matre. Dwi, juga suka bergaul dengan teman-teman cewek yang nggak benar, suka ngerokok, pergi dugem, aahhh .... segala macamlah. Yang jelas, kayaknya aku nggak pernah bisa mencintainya dari dulu sampe sekarang.”
“Maksud kamu?”

“Ya, dari pertama aku kenal Dwi, aku berusaha keras buat cinta sama dia, tapi kayaknya yang selama ini aku rasa nggak pernah tulus. Aku nggak benar-benar mencintai dia.”
“Trus ....?”

“Ya, trus, berarti selama ini aku udah membohongi dia, aku bohong dengan diriku sendiri, dan aku juga udah bohong sama kamu.”
“Maksud kamu? Apa hubungannya dengan aku?”
Dengan pura-pura bego’ aku terus bertanya ke Dado, dan ...
“Kia, aku masih suka dan sayang sama kamu.”
“Ha-ha .....ha-ha apa? Kamu nggak salah, serius ato bercanda?”
Aduuuh ....... kenapa aku tertawa lagi ya, ya Tuhan mudah-mudahan nggak melenceng deh.

“Bercanda ....!!!”
“Oww, bercanda ya Do? Kirain kamu serius tadi, ha-ha ...ha-ha ...ada-ada aja kamu.”
“Ya udah, aku pulang duluan ya, kamu belum dijemput juga?”
“Nggak tau deh, koq belum dateng ya?”

Beberapa saat suasana antara aku dan Dado jadi canggung. Sumpah, aku benar-benar kaget denger Dado bilang bercanda tadi. Aku mengutuk-ngutuk sendiri dalam hati. Jadinya koq malah kayak dulu sih? Gimana ini? Koq aku juga bego ya. Artinya, sebelum Dado pamit dan mencoba menghidupkan mesin motornya, tiba-tiba spontan aku memanggil dia.

“Dado, kamu sebenarnya serius ato bercanda sih? Kamu marah sama aku?”
“Lho, kenapa aku mesti marah sama kamu? Udah, nggak usah dipikirin, aku cuma bercanda koq.......”

Sekali lagi aku tanya sama kamu ya, kamu serius kan Do dengan perasaan kamu?”
“ ...........”

“Do, ayo jawab, aku benci banget dengan Dado yang kayak ini, kenapa sih Do dari dulu sampe sekarang kamu nggak pernah mau ilangin sifat gengsi dan jaim kamu?”
“Iya, Kia .....aku serius masih suka dan sayang sama kamu, dari dulu aku ngak pernah bisa melupakan kamu, walopun aku sudah mencoba membuka hati buat cewek yang lain. Tapi, entah kenapa aku selalu sayang suma sama kamu. Aku pernah berdoa Kia, moga-moga aja Tuhan mempersatukan aku dan kamu.”
“ .......Do, kenapa kamu susah banget buat ngomong kalo kamu itu sayang dan cinta sama aku?”

“Maaaf aku ya, jujur selama ini aku emang selalu mencoba jaim dan gengsi banget sama kamu. Aku malu, lantaran aku masih ragu dengan perasaan kamu sendiri Kia.
“Nggak Do, asal kamu tau, aku udah sayang banget sama kamu sejak pertama kali kamu bilang suka sama aku. Aku sayang sama kamu sampe sekarang Do.”

Akhirnya, semua udah terbongkar dan nggak ada lagi yang tersembunyi. Akupun udah merasa lega dan tenang banget bisa mengungkapkan isi hatiku selama ini. Ternyata perasaan aku dan Dado selama ini sama, cuma kemunafikan yang jadi penghalang kami. Sekarang setelah tau semuanya. aku bisa merasakan kebahagianaan yang dianugerahkan Tuhan buat aku. Terima kasih Tuhan buat semua ini.

CERPEN....MENU MAKAN MALAM....

Menu Makan Malam

Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi
Ibu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.

Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.

Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.

Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak terjadi.

Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.
***
Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya dirinya sendiri.

Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan. Berhari-hari.

Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.

Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.

Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.

Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…

Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.

Tapi kadang ia bosan berurusan dengan menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca, semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll. Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi, kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak, koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya. Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.

Semua menu sudah dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.

Ia pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan sebelumnya?"

Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya, meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan. Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.

Ia menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.

Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah…

Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?

Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.
Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.

Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah membuatnya kecewa secara nyata.

Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.
Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana. Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.

Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh.
"Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"

Ibu terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta. Ah ya mereka sepertinya tak pernah bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.

Pisca menyelinap masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries, sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri. Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu? Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua ini dipertahankan?"

Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas, namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri. Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepalanya.

Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.

Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini.

"Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"
Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.

"Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"

Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang, maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau menikmatinya."

"Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan itu."

"Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu."

Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan.

Senin, 11 April 2011

ANAK KE-2 LEBIH SUKSES DI BANDING ANAK PERTAMA

Anak ke berapakah Anda Sebuah penelitian menemukan posisi anak memainkan peran dalam keberhasilan di masa depan. Dalam penelitian itu menunjukkan anak kedua lebih sukses dibanding anak pertama. Mau tau alasannya
Sebuah penelitian baru di Universitas Cambridge menunjukkan bahwa perdebatan antara saudara laki-laki dan perempuan benar-benar meningkatkan keterampilan sosial, kosakata, dan perkembangannya. Selain itu persaingan antar saudara juga dapat meningkatkan perkembangan mental dan emosional.
Dr Claire Hughes, dari Newnham College, Cambridge, mengatakan dalam siaran persnya. "Bukti kami menunjukkan pemahaman sosial anak-anak dapat dipercepat oleh interaksi mereka dengan saudara kandung dalam banyak kasus".
"Saudara yang lebih agresif adalah mereka yang sering membantah dan anak yang lebih tua menempatkan anak yang lebih muda di bawahnya sehingga semakin membuat mereka belajar pelajaran yang kompleks tentang komunikasi dan seluk-beluk bahasa," jelas Hughes.
Dalam penelitian ini, sebanyak 140 anak-anak berusia antara 2 hingga 6 tahun dianalisa perkembangan kognitif dan sosial mereka selama lima tahun. Para peneliti  membawa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dan keluarga dengan orangtua remaja. Sekitar 43 persen dari anak-anak yang disurvei memiliki ibu yang merupakan anak pertama sewaktu remaja, dan 25 persen berasal dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Berbagai macam tes telah dilakukan termasuk pengamatan video dari perilaku mereka, dan kuesioner dengan orangtua, guru, dan anak-anak sendiri.
Peneliti berpandangan bahwa jatuhnya anak-anak mengembangkan persaingan mereka dan membantu mereka membentuk hubungan sosial di kemudian hari. "Ketika anak-anak berdebat dalam sebuah kasus membuat mereka benar-benar mendapatkan manfaat dari konfrontasi," katanya.
"Orangtua yang lelah dengan pertengkaran di antara anak-anak yang terus menerus harus mengambil kenyamanan, faktanya bahwa anak-anak mereka sedang belajar pentingnya keterampilan sosial".
"Saudara kedua berbuat lebih baik dalam pengujian kami, dan anak-anak yang memiliki pemahaman sosial yang lebih baik yang menjadi lebih populer di kemudian hari".
"Pandangan tradisional menunjukkan memiliki saudara laki-laki atau perempuan menyebabkan banyak kompetisi untuk mendapatkan perhatian orangtua dan cintanya".
Hughes menambahkan, "Anak-anak bisa mengajar orang dewasa beberapa hal karena mereka sering menyelesaikan perselisihan dengan cepat agar dapat bermain kembali," jelasnya.
"Anak-anak bisa menyadari keadilan antara mereka dan saudara mereka yang sulit dikelola orangtua, tapi perilaku ini hanya menunjukkan berapa besar kepedulian mereka".
Hughes mengatakan, anak-anak yang memiliki performa terbaik dalam melaksanakan tugas yang dirancang peneliti berada pada usia enam tahun. Mereka berasal dari keluarga yang ibunya melakukan percakapan dengan menguraikan ide-ide, menyorot perbedaan dalam sudut pandang atau menyesuaikannya dengan kesenangan anak.
"Banyaknya perhatian yang telah diberikan berdampak menguntungkan bagi anak-anak yang terlibat banyak percakapan dalam keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa kita perlu fokus pada dasar dan kualitas percakapan itu juga,"pungkasnya.
Sekarang tinggal Anda yang menilai, sesuaikah penelitian ini dengan kehidupan